1. Profile Kelembagaan dan Persoalan Sumber Dana Ma'had Al Zaytun (selanjutnya disingkat MAZ) didirikan oleh Yayasan Pesantren Indonesia (YPI) yang diketuai oleh H Syarwani. YPI sendiri didirikan pada tanggal 1 Juni 1993 bertepatan dengan tanggal 10 Dzulhijjah 1418 H ('Iedul Adha) dengan akte pendirian tertanggal 25 Januari 1994 nomor 61 oleh notaris Ny. li Rokayah Sulaiman SH. Sementara Pesantren Al Zaytun sendiri dipimpin oleh Syekh AS Panji Gumilang (syekh al-ma'had) berlokasi di Desa Mekarjaya Kecamatan Haurgeulis Kabupaten Indramayu Jawa Barat. Pesantren ini menempeti luas tanah 1200 Ha dengan pembagian 200 Ha untuk lahan pendidikan dan 1000 Ha sebagai lahan pendukung yang berupa lahan pertanian, perkebunan dan peternakan dan berada disekeliling lahan pendidikan. Dalam luas tanah yang demikian besar, saat penelitian ini dilakukan telah berdiri sejumlah sarana fisik untuk pendidikan seperti: - Asrama santri lima lantai (Al-Nur, Al-Mustofa, Al-Fajr dan Madinah) dengan luas lantai masing-masing unit 22.000 M2. Terdapat di dalam setiap asrama 170 unit kamar tidur yang masing-masing unit kamar tidur luasnya 72 M2 diisi oleh 10 santri. Setiap kamar tidur dilengkapi lima tempat tidur susun, lemari pakaian, ruang belajar, meja, kursi, rak buku, tiga buah kamar mandi dan wastafel. Direncanakan akan dibangun seluruhnya 12 gedung asrama dengan kualifikasi yang sama, salah satu yang sedang dibangun adalah Gedung Muhammad Soeharto.
- Gedung Pembelajaran empat sampai lima lantai (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib) dengan luas lantai masing-masing unit 10.000 M2 sampai 15.000 M2 atau dengan kapasitas 1500 sampai 17000 santri. Direncanakan pula akan ada 12 unit bangunan pembelajaran serupa.
- Masjid. Saat ini sedang dibangun Masjid Utama yang diberi nama Masjid "Rahmatan lil al-'Alamiin" dengan luas bangunan 6,5 Ha dengan biaya 100 Milyar (sudah terpenuhi semua biaya pembangunannya). Sedang untuk sementara digunakan Masjid Al Hayat dengan luas tanah 5.000 M2 yang dapat menampung 6.000 Jama'ah. Jika Masjid "Rahmatan lil al-'Alamin" selesai pembangunannya, maka Masjid Al Hayat diubah fungsinya menjadi perpustakaan.
- Sarana Olah Raga terdiri dari tiga blok. Di Blok Timur dekat arena pembelajaran terdapat sebuah stadion yang diperlengkapi sebuah lapangan sepak bola dengan standar teknis internasional lengkap track atletik, lapangan basket, tennis, gedung olah raga dan gedung kesenian. Di sebelah barat dan utara terdapat empat buah lapangan sepak bola, tiga buah lapangan basket, enam buah lapangan volley dan tengan dibangun lapangan berkuda.
- Fasilitas pendukung terdiri dari rumah makan, kitchen, loundry, kantin, koperasi, wartel, barbershop, pengkhidmatan kesihatan/hospital dan lainnya.
- Wisma Tamu Al-Ishlah dengan luas bangunan 6.500 M2 dengan kapasitas 120 kamar tidur.
Selain gedung-gedung tersebut terdapat pula danau buatan, mess karyawan, pabrikasi, bangunan peternakan, lahan perkebunan dan lain sebagainya ditambah pula sarana dan prasarana pendukung pendidikan saperti jaringan komputer, jaringan telepon, listrik dari PLN dengan back up generator listrik. Melihat kemegahan dan kebesaran Ma'had Al Zaytun tersebut, pertanyaan yang selalu muncul dari masyarakat adalah "dari mana sumber dana yang diperoleh lembaga ini?". Persoalan sumber dana menjadi salah satu persoalan besar yang dikritisi masyarakat terhadap Al Zaytun. Pimpinan Pesantren (syekh al-ma'had) selalu berkelit jika dipertanyakan masalah ini dan selalu dijawab dengan jawaban klise dan berkilah "dari Allah", "dari umat Islam", "umat Islam itu sebenarnya kaya" dsb., tidak pernah dijelaskan bagaimana dana itu sampai ke pesantren ini. Tidak adanya transparansi sumber dana inilah yang kemudian melahirkan banyak praduga. Salah satu dugaan yang muncul adalah bahwa dana bersumber dari keluarga cendana dan kroni-kroni Suharto. Hal tersebut dikaitkan dengan kunjungan para mantan pejabat orde baru seperti : Soedharmono (yang juga menjadi sesepuh MAZ), BJ. Habibie, Isma'il Saleh, Akbar Tanjung, Haryono Suyono, Harmoko, Abdul Ghafur, Sudomo, Jendral Hartono, dll, bahkan Siti Herdiyanti Rukmana (Mbak Tutut) pernah datang dan meletakkan batu pertama pembangunan gedung yang diberi nama Gedung Muhammad Suharto. Majalah Tempo edisi 8-14 Juli 2002 memberitahukan bahwa mbak Tutut pada kesempatan itu menyumbang Rp. 40 Juta. Informasi yang datang Kaba Intelkam Mabes POLRI menyatakan ada sebagian tanah Al Zaytun yang merupakan wakaf mbak Tutut dan sumber lain menyebut bahwa sapi-sapi yang ada di peternakan MAZ berasal dari Tapos. Kedua informasi ini tampaknya tidak cukup kuat, buktinya DR.Ir Ronny Rachman Noor (Ketua Tim 11 Program Pendidikan Pertanian Terpadu), misalnya, membantah informasi yang menyebut bahwa sapi-sapi tersebut berasal dari Tapos. Menurut Bapak Z.A Maulani, pembangunan proyek Al Zaytun terkait dengan pembangunan Masjid At Tin di TMII dan sekolah Insan Cendikia di Serpong. Ini merupakan gagasan Suharto yang ingin berkhusnul khotimah diakhir hayatnya. Proyek ini kemudian diserahkan kepada BJ Habibie dan BPPT sebagai pelaksana teknisnya. Akan tetapi, hal ini dibantah keras oleh Jimly Ashshiddiqie, orang dekat Habibie, bahkan beliau menyatakan bahwa pada saat peresmian MAZ, ia mendengar sendiri bagaimana Habibie mempertanyakan (bahkan "berdebat" dengan syehk al-ma'had) mengenai sumber dana Al-Zaytun yang tidak dijawab secara aksplisit oleh syekh al-ma'had. Melihat sejumlah informasi yang ada tidak cukup kuat bukti yang menunjukkan sumber dana berasal dari Cendana, kalaupun ada sumbangan-sumbangan dari orang-orang dekat cendana jumlahnya tidak signifikan. Sementara itu, menurut hasil laporan penelitian Litbang Departemen, sumber dana MAZ berasal dari kegiatan usaha (bisnis) ma'had seperti dua buah kantin yang mampu menampung 500 pengunjung dengan jumlah tidak kurang dari 2000 pengunjung tiap harinya dan pendapatan laba bersih kurang lebih Rp. 22 juta perhari, loundry dengan keuntungan kurang lebih Rp. 82.500.000 per bulan, wartel 10 KBU dengan keuntungan Rp 15 juta perhari, penerbitan majalah dan iklannya dengan pemasukan Rp. 60 juta per edisi. Belum lagi kegiatan usaha seperti koperasi, wisma tamu dan penginapan wali santri, perkebunan dan peternakan. Sudirman, salah seorang dosen kulliyatul lughoh, menambahkan sumber dana lain terletak pada kemampuan syekh al-ma'had yang dikenal kharismatik dalam mendatangkan, merangkul dan meyakinkan para haji kaya, pengusaha muslim, pejabat negara, mulai dari lurah sampai menteri untuk memberikan sumbangan kepada MAZ. Dari informasi yang dilaporkan Team Peneliti Litbang Depag, jumlah infak dan shodaqoh yang terkumpul dari para tamu (pengunjung) dalam 2 tahun 4 bulan tercatat mencapai Rp. 27.464.606.258,- + $D 18.386,- + RM 26.786,- + $S 50 + semen 1.000 zak dan 8 Ha tanah wakaf. Itu artinya, jika semua infak wali santri tersebut dibagi dalam kurun waktu 2 tahun 4 bulan maka rata-rata infak tersebut berjumlah 1 milyar per bulan. Pemasukan lainnya adalah biaya pendidikan santri yang seluruhnya dibayar dimuka sebesar $ 2.000 US dollar per santri, berbagai usaha penggalangan dana lewat harakah ramadhan, harakah kurban, harakah muharram dan lain sebagainya. Semua dana itu dikelola dengan managerial yang efektif dan efisien didasarkan pada konsep pendidikan ekonomi dan ekonomi pendidikan. Artinya, setiap input yang bernilai ekonomi harus memiliki output yang berwawasan dan memiliki ekonomi pula. Berdasarkan informasi tersebut, pertanyaan yang muncul kemudian adalah "apakah semua dana masuk tersebut, baik yang berasal dari sumbangan wali santri/tamu ataupun kegiatan usaha (bisnis) MAZ, cukup signifikan dan dapat memenuhi seluruh biaya aktivitas pembangunan dan mendidikan MAZ?", atau dengan kata lain "Apakah semua perolehan dana itu sebanding/senilai dengan seluruh pengeluaran (biaya belanja) yang digunakan untuk pembangunan gedung-gedung megah, pengadaan sarana dan prasarana (insfrastruktur) pendidikan yang demikian lengkap dan modern, loundry, kitchen, alat-alat berat, dsb. Ditambah lagi dengan biaya operasional perkebunan, peternakan, perikanan serta semua kebutuhan pembiayaan belanja rutin rumah tangga MAZ (biaya makan kurang lebih 10.000 warga MAZ, biaya operasional pendidikan, listrik, telepon, gaji 496 guru dan 3.000 karyawan dan lain sebagainya) selama ini yang biayanya bisa mencapai ratusan milyar bahkan menyentuh angka trilyunan rupiah?". Hal ini tentu saja memerlukan audit, kalkulasi dan akuntansi yang sangat rumit. Pertanyaan lain yang muncul adalah "dari mana sumber dana awal untuk pembebasan tanah, pembangunan awal gedung pembelajaran, asrama, masjid, peternakan dan lainnya sebelum dibuka tahun pembelajaran pertama MAZ atau sebelum banyak orang yang mengetahui keberadaan pesantren ini?", "Bagaimana pula dengan proses pembebasan lahan yang sedemikian besar?", "Siapa yang mengorganisir?". Pertanyaan-pertanyaan semacam ini memerlukan jawaban yang eksplisit, jujur, tulus dan transparan dari pimpinan pesantren. Persoalan besar dan urgen yang timbul berkaitan dengan sumber dana MAZ adalah berita bahwa sumber dana yang sangat signifikan bagi kelahiran dan perkembangan Ma'had Al Zaytun berasal dari penggalangan dana anggota (umat) dan aparat organisasi NII KW IX. Penggalangan dana oleh sebuah organisasi pada dasarnya adalah hal yang biasa. Persoalannya adalah penggalian dana tersebut menggunakan konsep-konsep ajaran Islam yang diselewengkan serta terjadi eksploitasi dan pemaksaan, sehingga anggota tergiring untuk melakukan tindakan kriminal. Inilah salah satu persoalan pokok yang dialamatkan kepada MAZ. Hasil investigasi Team MUI mendapati banyak sekali saksi (sumber informasi) yang memberikan keterangan mengenai hal ini. Sumber-sumber informasi tersebut adalah : para mantan anggota dan aktivis NII KW IX (dalam jumlah yang cukup signifikan dan berasal dari berbagai wilayah), para orang tua/wali/keluarga yang anggota keluarganya menjadi korban NII KW IX, para mantan petinggi NII KW IX, Badan Intelegen dan Keamanan Mabes POLRI, dan mantan Ka Bakin (Z.A Maulani) yan juga mendapat masukan dari anggota dan petinggi NII KW IX yang masih aktif. Semua saksi tersebut secara eksplisit memberikan kesaksian bahwa penggalangan dana untuk Al-Zaytun datang dari anggota (umat) dan aparat NII KW IX. Informasi ini diperkuat oleh hasil investigasi yang dilakukan bebagai fihak seperti dari Forum Ulama Umat (FUU) Indonesia dengan Team Investigasi Aliran Sesat (TIAS), Solidaritas Umat Islam untuk Korban NII Al Zaytun Abu Toto (SIKAT), Lambaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) dan Forum Masyarakat Korban NII KW-9 (FKM KW-9). Menurut sumber-sumber informasi tersebut: Setiap anggota yang masuk NII KW IX harus dibai'at dan membayar shodaqoh hijrah dalam jumlah yang telah ditetapkan sebagai pembersih jiwa dan tanda perpindahan kewarganegaraan RI menjadi warga negara NII KW IX. Setelah masuk ke dalam organisasi NII KW IX, setiap anggota diwajibkan menjalankan program seperti binayah al-'aqidah (pembinaan akidah), binayah al-dzarfiyah (pembinaan territorial), binaya mas'uliyah (pembinaan aparatur), binayah maliyah (pembinaan keuangan) dan binayah al-shiilah wal al-muwashalah (pembinaan komunikasi). Dari kelima kelompok tersebut, binayah maliyah mendominasi semua program dan aktivitas gerakan NII KW IX di tingkat teritiorial (idariyah), bahkan dalam kegiatan tilawah (pengajian rutin anggota) yang dibahas lebih banyak persoalan program penggalangan dana, lebih dari itu ia adalah program mobilisasi (bahkan tepatnya eksploitasi) dana yang dibebankan kepada warga dan aparat NII KW IX. Ironisnya, penggalangan dana tersebut dibungkus dengan term-term keagamaan (syari'at) yang ditafsirkan secara sembarang. Diantara kewajiban-kewajiban dana yang harus dikeluarkan adalah: shadaqah hijrah, infak, qiradl, al-fai', shadaqah istighfar, shadaqah tahkim, shadaqah munakahat, shadaqah tartib, shadaqah isti'dzan, harakat ramadhan, harakat qurban, harakat muharram, harakat iddikhor, aqidah, tadzkiyah baitiyah dan lain sebagainya. Begitu kuatnya penekanan pada program binayah maliyah ini kemudian berimplikasi pada terjadinya penyelewengan prilaku, bahkan sampai kepada tekanan mental, anggota seperti berbohong kepada orang tua/kawan/majikan, menipu, mengambil/mencuri harta milik orang lain diluar NII KW IX serta tindakan-tindakan kriminal lainnya. Berdasarkan informasi Bapak Z.A. Maulani, salah satu petinggi NII KW IX (bupati) pernah mengeluhkan beban berat yang harus ia pikul dalam memenuhi target keuangan yang telah ditetapkan pimpinannya dan penyimpangan prilaku semacam itu sangat mungkin terjadi di level bawah (ummat). Sementara itu, menurut Ustadz Usman, mantan mudarris MAZ yang juga pernah menjabat Qoim I Riasah Kabupaten (Bupati NII KW IX) di Jawa Tengah, prilaku menyimpang bukan saja memang benar terjadi, tetapi juga mendapat pembenaran (legitimasi) dari doktrin dan ajaran NII KW IX itu sendiri. Dalam ajaran mereka, misalnya, dalam periodisasi perjuangan mereka sekarang masih masih dalam periode Mekkah, periode peperangan menegakkan negara Islam. Perang adalah sebuah tipu daya (al-harbu huwa khud'ah), bukan perang jika tidak ada tipu daya. Oleh karenanya, menipu diperbolehkan pada masa sebelum tegaknya negara Islam. Ajaran ini diperkuat dengan ajaran yang mengkafirkan orang di luar kelompok mereka, sehingga bukan saja hartanya, darahnya pun halal. Itulah sebabnya, ada konsep al-fai' (harta rampasan) dalam ajaran mereka. Ditambah lagi dengan penyelewengan lain yang menggunakan symbol agama seperti adanya shodaqoh istighfar (uang penebus dosa), shadaqoh tahkim, shodaqoh munakahat dan lain sebagainya. Sementara itu, Ade Hidayat, yang juga mantan mudarris MAZ dan dulu pernah menjabat Qoim I Mantiqoh (Bupati di NII KW IX) Sukabumi Barat Wilayah VII Jawa Barat bagian Selatan, mengatakan bahwa income keuangan MAZ sebagian besar memang berasal dari pengumpulan dana di tingkat territorial (idariyah). Dari wilayah yang dibinanya saja terkumpul sebesar Rp. 100 jutaan per bulan. Dana lalu disetorkan ke pusat (MAZ), sebagian hasil diturunkan kembali ke bawah sebagai gaji aparat, tetapi nyatanya gaji itu tidak pernah ia terima karena dipotong pada masalah Nuqshon (kekurangan dana yang harus disetorkan ke pusat) dan setiap bulan selalu mengalami nuqshon, sehingga yang ia terima setiap bulannya adalah beras. Informasi-informasi senada dengan bentuk kasus yang berbeda seperti di atas juga berhasil dihimpun Team MUI dari para mantan korban, mantan aparat dan para orang tua korban di sejumlah tempat yang berbeda-beda. Berdasarkan informasi tersebut, dana yang terkumpul dari para anggota dan aparat NII KW IX di territorial (isariyah) ini jumlahnya sangat fantastis. Bukti autentik dana dari NII KW IX ke MAZ memang sulit ditemukan, karena organisasi ini menggunakan system sel tertutup, dimana antara satu sel dengan sel lainnya tidak saling kontak. Menariknya, setiap sel di berbagai tempat yang berbeda memiliki kesamaan dalam pola gerakan, istilah-istilah yang digunakan, format surat, catatan pengajian, catatan penerimaan dan pengeluaran uang dan lain sebagainya. Ketika Team MUI mengejar mereka dengan pertanyaan : "apakah mereka meyakini betul bahwa dana itu sampai ke Ma'had Al Zaytun?" mereka menjawab sangat yakin dana itu sampai ke pesantren ini, hanya saja menurut salah seorang mantan bupati NII KW IX, ketika dana itu sampai ke MAZ penamaannya sudah berubah menjadi sumbangan masyarakat. Hal itu dapat dilihat, misalnya, dalam kegiatan harakat muharram 1423 H yang diadakan MAZ untuk menghimpun dana pembangunan Masjid Rahmatan li al-'Alamin, dimana dalam satu hari lelang amal tersebut berhasil mengumpulkan dana Rp.100 Milyar. Pada kesempatan itu disebut pula ada sumbangan dari pengajian Parahiyangan (sebenarnya berasal dari koordinator Jabar bagian Selatan) atau bahkan ada pula yang secara transparan disebut sumbangan dari koordinator wilayah bekasi barat, dan lain sebagainya. Berdasarkan informasi-informasi yang didapat dari berbagai sumber tersebut Team MUI mendapatkan kuatnya indikasi adanya aliran dana dari NII KW IX ke MAZ dan aliran dana ini sangat signifikan bagi kelahiran dan perkembangan MAZ. Atau dengan kata lain, terdapat hubungan yang bersifat historical dan financial antara NII KW IX dan MAZ. |
2. Kepemimpinan MAZ dan Dugaan keterkaitannya dengan NII KW IX Selain persoalan sumber dana, kontroversi yang terjadi seputar MAZ terletak pada sosok AS Panji Gumilang, pimpinan pesantren (syekh al-ma'had). AS Panji Gumilang (selanjutnya disingkat ASPG), bernama asli Abdul Salam bin H Rasyidi, lahir di desa Dukun, Sembung Anyar Gresik pada tanggal 27 Juli 1946. Lulus SR tahun 1958/9 kemudian menjadi santri Pondok Moderen Gontor tahun 1961. Melanjutkan studi ke fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Aktif di berbagai organisasi seperti HMI, Mathla'ul Anwar dan Gerakan Pemuda Islam (Pandeglang). Menikahi Khatimah alias Maysaroh, cucu pendiri Mathla'ul Anwar Menes Banten, yang darinya dikaruniai tiga putra dan tiga putri. Di MAZ, AS Panji Gumilang menjadi figure sentral, inisiator, manager dan penentu kebijakan pesantren. Di mata warga MAZ, ASPG adalah pemimpin kharismatik yang dikagumi, mempunyai wawasan jauh ke depan menembus abad dan milenium serta menembus sekat bangsa dan negara. Berpengalaman luas, berwibawa, tegas, kebapakan, pandai memanfaatkan peluang serta sifat dan sikap lainnya yang dimiliki seorang pemimpin. Ia juga dikenal seorang yang memiliki wawasan luas, diplomat ulung, retorika bicaranya menarik, cerdas dan cerdik, bahkan ada seloroh jika Abu Nawas pun kalah dengan kecerdikannya. Begitu kuatnya pengaruh ASPG di MAZ, posisinya melebihi siapapun sampai pada eksponen (pengurus yayasan). Semua keputusan bertumpu pada dirinya dan semua perintahnya langsung dijawab "sami'na wa atho'na". Nasrun Mahmud, seorang dosen kulliyatul lughoh, bercerita bagaimana H Syarwani (ketua Yayasan) terdiam ketika ia tidak diperbolehkan mengikuti kulliyatul lughoh atas perintah syekh di dalam sebuah forum umum. Kontroversi terhadap ASPG terletak pada dugaan keterlibatannya sebagai pemimpin NII KW IX. Seperti halnya persoalan sumber dana, terhadap persoalan ini pun ia selalu menghindar dan menutup diri. Ia juga selalu berkelit ketika menjawab persoalan ini dengan jawaban retoris. Mantan Kepala Bakin, Z.A Maulani, membenarkan keterlibatan ASPG sebagai pemimpin NII KW IX. Maulani bahkan juga pernah didatangi Ules Suja'i, salah seorang tokoh NII, yang menceritakan segala sesuatu mengenai organisasi ini. Pembenaran serupa juga dinyatakan oleh Adah Djaelani dan isterinya, bahkan Adah seperti diakui oleh istrinya adalah salah seorang penasehat di MAZ. Demikian pula dengan keterangan Komisaris Besar Polisi Dede (Badan Intelegen dan Keamanan Mabes POLRI) serta kesaksian sumber-sumber informasi Team MUI, seperti disebut di atas (lihat h.12). Berdasarkan bukti-bukti dan kesaksian dari berbagai sumber, Team MUI melihat indikasi katerkaitan antara AS Panji Gumilang dengan NII KW IX. Pertanyaannya kemudian "apakah keterkaitan itu hanya menjadi masa lalu ASPG, yang kini berubah orientasi perjuangannya?" Laporan Litbang Depag tampaknya menyimpulkan adanya perubahan sikap ASPG. Hal itu salah satunya, didasari oleh cerita H Syarwani tentang bagaimana ASPG dan sejumlah eksponen melakukan perenungan di Multazam Masjidil Haram untuk meneruskan langkah "perjuangan" yang akhirnya menemukan jalan ke depan melalui pendidikan. Kekerasan tidak pernah menyelesaikan masalah dan tidak pernah menang, maka setelah kembali ke tanah air mulailah dirintis program MAZ. Namun dari informasi para mantan mudarris MAZ yang pernah menjadi petinggi NII KW IX serta sumber-sumber informasi lainnya menyatakan bahwa keterkaitan itu masih berlangsung hingga saat ini. Menurut mereka, dalam struktur keorganisasian NII KW IX, aparatur terbelah menjadi dua, yaitu aparatur fungsional, mereka yang berada di luar MAZ bersama-sama dengan umat (anggota). Aktivitas organisasi masih terus berjalan di teritoriel dengan tugas utama menggalang dana dan mensuplainya ke MAZ. Berdasarkan kesaksian mereka pula, keterkaitan Kepemimpinan MAZ dengan NII KW IX tidak saja terletak pada sosok AS Panji Gumilang, tetapi juga kepada orang-orang yang duduk sebagai pengurus yayasan yang mereka sebut dengan eksponen. Sebagian besar sumber menyebut bahwa seluruh eksponen adalah para petinggi NII KW IX, sementara sebagian sumber lain menyebut hanya sebagian saja yang merupakan orang NII KW IX. Pastinya, menurut mereka, H Syarwani (ketua yayasan/YPI) meruakan salah satu dari mereka. Hasil investigasi Team MUI menunjuk kuatnya indikasi keterkaitan kepemimpinan MAZ dengan NII KW IX hingga saat ini. |